Jumat, 16 Oktober 2009

KISAH PENGANGKATAN
JENAZAH PAHLAWAN REVOLUSI
DI LUBANG BUAYA, 4 OKTOBER 1965
Sebagaimana dituturkan oleh Brigjen TNI (Pur) R. Sukendar

Tanggal 4 Oktober 1965,
Pukul 01.30 (dinihari), seorang Mayor CPM tergopoh-gopoh melapor kepada Pangkostrad Mayjen Soeharto, bahwa telah ditemukan sebuah sumur yang berdiameter + 70 cm yang diperkirakan para Jenderal Angkatan Darat dan seorang perwira pertama sebagian atau seluruhnya terkubur di sumur itu. Perwira itu tarnyata Mayor Subardi ADC Men/Pangad Letjen A. Yani. Laporan di dengar oleh semua yang hadir di tempat i tu. Semuanya terkesiap Pasukan RPKAD yang berhasil menemukan sumur maut itu telah berusaha mengangkat jenazah, dipimpin oleh seorang Mayor dokter, akan tetapi belum berhasil. Karena sempitnya lubang sumur dan mengeluarkan gas beracun. Sudah ada anggota yang mencoba masuk, tidak tahan kemudian pingsan.
Salah seorang di antara hadirin adalah Kapten Czi R. Sukendar, yang menjabat sebagai Kasi-II Gugus Zeni KOSTRAD. Komandan Gugus Zeni adalah Kolonel Czi Rustamadji. Perwira pertama ini, membayangkan alangkah agungnya sekiranya para pimpinan Angkatan Darat ini bisa dimakamkan di tempat yang layak dan pada hari besar Angkatan Bersenjata 5 Oktober 1965. Perasaan inilah yang mendorongnya untuk berfikir keras. Ia yakin, bahwa menurut pengalaman dan pengetahuannya, bahwa melakukan pertolongan pada tempat sempit dan ada bahaya gas, sama dengan menyelam. Karena itu perlu tenaga penyelam. Sepengetahuannya hanyalah Kompi Intai Para Amphibi KKO-AL. Mereka telah seringkali melakukan tugas-tugas reseue. Bahkan kompi ini pernah berhasil menyelamatkan panser amphibi (pansam) milik Zipur Kostrad yang tenggelam di pantai Ancol. Kemudian ia melapor kepada Wakil Asisten Logistik KOSTRAD, Letnan Kolonel Rachwono, dengan mengajukan saran dan langkah-langkah kerja yang perlu segera dilaksanakan. Tanpa sepengetahuannya, rupanya Letkol Rachwono melapor kepada Panglima Kostrad dengan mengajukan saran-saran yang dibuat oleh Sukendar. Panglima Kostrad langsung memerintahkan agar dibentuk Tim dan segera berangkat. Berdasarkan rencana kerja yang dibuat, ia langsung meninggalkan markas KOSTRAD menuju ke Ancol, di mana Kompi Ipam KKO-AL, berada. Kompi Ipam di bawah Komandannya Kapten KKO Winanto, beberapa saat menjelang HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965 memang berada di detasir Ancol, dalam rangka latihan untuk demonstrasi pendaratan tanggal 5 Oktober 1965.

Menurut rencana, demonstrasi pendaratan di Ancol ini menjadi salah satu acara HUT ABRI Ke-20 , karena Angkatan Laut yang mendapat giliran menjadi Panitia Pelaksanaannya. Dalam rangka latihan dan juga demonstrasi ini KKO-AL menggunakan tank-tank dan panser Amphibi dari Zeni Amphibi KOSTRAD. Tank-tank Amphibi KKO send1ri, masih berada di garis depan dalam rangka operasi Dwikora. Dari sinilah rupanya terjalin kerjasama dan keakraban pribadi anggota gugus Zeni Kostrad dengan anggota Kompi Intai Para Amphibi KKO-AL termasuk di antaranya Kapten Czi Sukendar dengan Kapten KKO Winanto dan Wakilnya Letnan KKO (pangkat sekarang Letnan Satu) Mispan Sutarto. Dari hasil kerjasama inilah melahirkan saling pengertian, di mana pada saat itu integrasi ABRI masih terbatas pada kerjasama antar Angkatan saja.


Setibanya di Ancol, Kapten Sukendar tidak menemukan siapapun, yang ada hanya kegelapan dan kesunyian. Harapannya tertuju kepada Markas Besar KKO (sekarang Markas Korps Mar1inir) di jalan Prapatan. Di Markas Besar KKO, ia menghadap Perwira jaga Kapten KKO Mustaram, melaporkan maksud dan tujuannya. Sekalipun kedatangannya mengemban perintah dari Pangkostrad namun la tidak membawa surat perintah dan juga tidak memiliki kartu identitas diterima dengan sedikit keraguan. Namun ia langsung dihadapkan kepada Panglima KKO, Mayjen KKO Hartono. Ia menjelaskan Kostrad Mohon ijin pemakaian pasukan IPAM untuk mengangkat jenazah dari sumur. Tenaga yang diperlukan sesuai dengan yang diperlukan setidak-tidaknya 7 orang penyelam untuk 7 orang jenazah ditambah seorang lagi untuk observasi pendahuluan. Jadi tenaga yang diperlukan minimal 8 orang. Juga diperkirakan jenazah sudah mengeluarkan gas beracun, diperlukan pula 2 buah masker dan 2 set baju penyelam serta 2 orang dokter, seorang dokter umum dan seorang dokter gigi untuk Visum et repertum dan identifikasi jenazah. Panglima KKO mengijinkan pemakaian tenaga dari Kompi IPAM. Segera dikeluarkan surat Perintah Panglima KKO, No. 521/SP/KK0/65 tanggal 4 Oktober 1965, dengan catatan, bahwa ijin pemakaian anggota IPAM dan alat perlengkapannya (zat asam/aqualung, masker dan baju penyelam) dari Markas Besar Angkatan Laut, yang harus diurus sendiri oleh Kapten Sukendar.
Keluar dari ruang Panglima KKO, kembali ke ruang perwira jaga. Kebetulan Wakil Perwira jaga adalah Letnan KKO Mispan Sutarto, Wakil Komandan Kompi IPAM. Letnan Mispan menerangkan Ki Ipam dikonsinyir di MBKKO. Komandan Ki IPAM Kapten Winanto sedang tidak berada di markas. Dengan diantar oleh Letnan Mispan dan Sersan Saparimin, Kapten Sukendar menuju MBAL di jalan Gunung Sahari. Tanpa kesulitan ijin didapatkan. Jam telah menunjukkan pukul 04.00 subuh. Setelah ijin didapat kini harus mencari perlengkapannya. Yang terpokok adalah zat asam. Di MBAL tidak ada persediaan. Rombongan memutuskan untuk mencari zat asam ke pabrik gas di Manggarai. Kompleks pabrik terkunci rapat. Pintu digedor-gedor tanpa ada yang menjawab, tapi ada yang menjawab, tapi ada bangunan yang nampaknya rumah jaga petugas pabrik. Mungkin mereka tertidur atau takut diculik PKI. Akhirnya didapat akal. Rumah jaga itu dilempari atapnya. Benar juga. Beberapa orang keluar menanyakan maksudnya. Mereka ketakutan. Rombongan menerangkan maksudnya meminta bantuan mendapatkan tabung zat asam untuk sesuatu tugas. Akhirnya mereka dibawa kegudang dipersilakan memilih mana yang diperlukan. Letnan Mispan dan Sersan Saparimin memilihi tabung-tabung yang diperlukan, sejumlah 8 peti. Yang diperkirakan untuk satu jenazah memerlukan satu peti dan tambahan satu untuk keperluan observasi. Hampir satu jam mereka berada di pabrik gas ini.

Peralatan pokok lainnya masker dan alat penyelam ICAM.48 juga tidak berada di MBKKO dan MBAL. Yang diketahui oleh Letnan Mispan, alat itu ada di kapal KRI Multatuli yang bersandar di Dermaga II Tanjungpriuk. Rombongan meluncur ke Dermaga II, naik ke KRI Multatuli. Juga tanpa kesulitan mendapatkan peralatan yang diperlukan. Sekalipun memakan waktu hampir dua jam. Pada pukul 07.00, kembali ke MBKKO di Kwitang untuk menjemput anggota KIPAM lainnya, yang terdiri dari 8 orang penyelam dan dua dokter. Alat-alat dipersiapkan di sini. Tetapi karena korektor ICAM 48 tidak berfungsi, diputuskan untuk menggunakan aqualung saja. Baru pada lebih kurang pukul 08.00 rombongan menuju ke Markas KOSTRAD, melapor kepada WAKAS KOSTRAD Kolonel Satari dan WAASLOG Letkol Rachwono, bahwa Tim yang akan mengangkat jenazah telah siap.

Tim terdiri dari 4 orang perwira dan 8 orang bintara dan tamtama, dipimpin oleh Kapten R. Sukendar. WAKAS KOSTRAD memerintahkan agar tim segera berangkat menuju Lubang Buaya, karena pada pukul 11.00 Panglima akan meninjau lokasi. Keluar dari Markas Kostrad seorang anggota Tim mengajukan usul, "Kapten kita perlu sarapan dulu". Kapten Sukendar marah : "Belum bekerja sudah makanan yang dipikir". Yang lain menjawab : "Bukan begitu Kapten, kami sudah seringkali mengangkat jenazah yang membusuk. Yang pasti paling tidak empat hari tidak doyan makan". Pimpinan rombongan mengalah. Mereka bersama-sama sarapan (kemudian diakui saran para bintara itu ternyata benar. Kapten Sukendar sampai hampir 4 hari tidak bisa makan). Karena belum tahu arahnya perjalanan menuju ke Lubang Buaya, lewat Cililitan menuju ke pangkalan Udara Halim. Begitu masuk Pangkalan Halim, mereka dikejar oleh satu truk Pasukan penjaga Pangkalan. Karena kekuatannya hanya 12 orang, maka kepada Supir diperintahkan masuk ke halaman Komando Operasi (KOOPS).
Di sana ketemu dengan Komodor Dewanto (DEOPS AURI). Ia Minta bantuan Komodor Dewanto untuk menunjukkan lokasi sumur di Lubang Buaya tempat penguburan jenazah para Jenderal TNI-AD. Komodor Dewanto pun tidak mengetahui tempatnya. Ia memanggil seorang Letnan polisi Angkatan Udara (PAU). Oleh Letnan itu disiapkan 2 orang anggota PAU sebuah pos yang menuju ke Tim Kapten R. Sukendar masuk ke Lubang Buaya. Di Sebuah pos yang menuju lokasi sumur, mereka dihentikan oleh petugas pos seorang Pembantu Letnan dari RPKAD. Sekalipun diterangkan bahwa kedatangannya atas perintah Pangkostrad yang akan bertugas mengangkat jenazah para pimpinan TNI-AD, petugas pos tetap tidak percaya, karena di dalam kendaraan itu dilihatnya terdapat baret ungu dan dikawal oleh Polisi Angkatan Udara. Rupanya di sekitar kompleks lokasi sumur dijaga ketat oleh pasukan RPKAD.
Untuk sementara rombongan beristirahat di sebuah warung karedok sambil menunggu kedatangan Panglima Kostrad. Setelah menunggu hampir 2 jam, kira-kira pukul 11.30 terdengar konvoi rombongan Pangkostrad. Sebelum sampai di pos penjagaan Kapten Sukendar "nyelonong" menghentikan rombongan dan melapor kepada Pangkostrad. "Tim-mu sudah siap". Bahwa Tim pengangkat jenazah telah siap, tapi belum diperkenankan masuk. Pangkostrad bertanya : "Siapa yang tidak memperbolehkan masuk ?" "Pos penjagaan Panglima"."Tunggu" jawab Panglima "sabar". Hampir 10 menit sesudah Pangkostrad menyaksikan sumur tempat jenazah, datang seorang kurir mengendarai sepeda motor membawa perintah Panglima. Kapten Sukendar diperintahkan menghadap. "Bagaimana Dar Timmu sudah siap". "Siap Panglima". Kemudian Kapten Sukendar diantar dengan sepeda motor kembali ke warung karedok, memanggil Tim. Tim diperintahkan masuk.
Tim memasuki kompleks dengan tekad yang pasti. Setelah laporan Tim memulai tugasnya. Mula-mula Sersan Saparimin, seorang penyelam yang pernah mendapat pendidikan menyelam di Vladivostok mempersiapkan tali-tali dan tangga tali. Kemudian turun melakukan observasi. Ia melaporkan tidak mungkin jenazah diangkat secara biasa, tetapi harus diikat. Atas persetujuan dokter jenazah bisa di ikat.

Seorang anggota RPKAD Praka Nanang yang pernah latihan IPAM telah siap dengan mengenakan masker dan aqualung turun ke dalam sumur, mengikat kaki salah satu jenazah. Kemudian ditarik beramai-ramai. Ternyata jenazah Letnan Pierre Tendean yang berhasil diangkat pada pukul 12.05. Pada pukul 12.30 Praka Subekti mengikat dua kaki jenazah. Setelah ditarik ternyata dua jenazah yaitu jenazah Mayjen S. Parman dan Mayjen R. Suprapto. Pada pukul 12.55 Kopka Bartono dengan cara yang sama berhasil mengikat dan mengangkat jenazah Mayjen M.T. Haryono dan Brigjen Sutoyo S. Kembali Sersan KKO Saparimin masuk ke sumur berbasil mengikat jenazah Letjen Achmad Yani pada pukul 13.20. Kapten Winanto Dan Ki IPAM baru tiba di lokasi pada pukul 13.30, menyusul anak buahnya. Ia pun langsung ikut masuk ke dalam sumur berhasil mengikat jenazah Brigjen DI. Pandjaitan. Pada pukul 13.40 seluruh jenazah (enam perwira tinggi dan seorang pama TNI-AD) sudah berhasil diangkat. Pangkostrad yang menyaksikan pengangkatan jenazah ini dalam pidato sambutannya menyatakan : "Saya sangat berterima kasih, bahwa akhirnya Tuhan memberikan petunjuk yang terang, jelas kepada kita sekalian, bahwa setiap tindakan yang tidak jujur, setiap tindakan yang tidak baik pasti akan terbongkar".

Akhirnya tugas berhasil diselesaikan dengan baik berkat kerja sama yang kompak. Tim melapor kepada Kepala Staf Kostrad Brigjen Kemal Idris, diteruskan dengan laporan kepada Panglima KKO pada pukul 17.30. Adapun personil yang melaksanakan pengangkatan jenazah di Lubang Buaya adalah:
- Kapten Czi Robertus Sukendar, pimpinan Tim
- Kapten KKO Winantop, Dan Ki Ipam
- Kapten Kes. drg. Sumarno
- Letnan KKO Misnan Sutarto, Wadan Ki Ipam
- Letnan Kes. dr. Kho Tjio Liang
- Sersan KKO Saparimin, anggota Ki IPAM
- Kopka Kandau
- Kopka Sudardjo
- Kopka Sugimin
- Kopka Hartono
- Praka Nanang, anggota RPKAD
- Praka Sumarni
- Praka Subekti

Atas jasa-jasa para anggota KKO (Marinir) dalam pengangkatan jenazah para pahlawan di Lubang Buaya, maka pada tanggal 17 Agustus 1960, mereka memperoleh anugerah dari TNI-AD berupa Bintang Kartika Eka Paksi Nararya. Sebaliknya pada tangga1 7 Oktober 1983, Kolonel CZI R. Sukendar selaku Komandan Tim menerima tanda kehormatan dari TNI-AL berupa Bintang Jalasena Nararya.

1 komentar: